Wednesday, 25 June 2014

Baduy, Melelahkan dan Dirindukan (Part I)

Petualangan ini berawal dari kesumpekan kota yang sejalan dengan tingkat kesetresan. Pada awalnya saya berencana untuk mengambil trip yang dapat dihabiskan hanya dalam 2 hari weekend. Pada waktu itu saya sudah apply untuk 2 hari private trip ke Pulau Pahawang, Lampung bersama Lupi Latifah atau sebut saja teman mantan calon anggota PKM sewaktu kuliah dan teman backpacker saya sewaktu tinggal di ibu kota. Manusia hanya manusia dan rencana hanya rencana.  2 hari sebelum pemberangkatan saya memutuskan untuk tidak ikut ke Pahawang karena jiwa buruh saya yang harus taat perintah atasan bahwa weekend tersebut saya disuruh piket. Sontak Lupi dan Team menghadiahi saya dengan title PHP. Saya hanya bisa mengucapkan “maaf teman, kalian bisa benci saya, tapi benci juga bos saya”. Oke, bercanda.

Setelah ditinggal Lupi dan Team saya juga tidak mau kalah dan berniat pamer kepada mereka. Saya berniat mengajak teman innocent saya Muhdam Azhar untuk backpacker dan wisata extreme culinary ke kota Garut. Sebenarnya, saya punya misi untuk nyobain susu domba Garut langsung dari dombanya, tapi Sadam nama kerennya Muhdam tidak tahu menahu. Mungkin, kalau dia tau bakal langsung menolak. Setelah urun rembug dengan Sadam, ternyata mas Rizki, teman kerja saya berhasil mempengaruhi saya untuk menengok keelokan jalur pantai  Ujung Genteng, Sukabumi beserta kegigihan penyu saat bertelur. Dari info yang saya dapat, biasanya penyu hijau akan bertelur di sekitaran pantai Ujung genteng diwaktu malam hari. Weekend minggu ketiga bulan Juni pun kami pilih untuk berangkat kesana.

Sekali lagi, manusia hanya Tuhan bagi dirinya sendiri, sedangkan waktu dan cuaca bukan urusan kita. Sepanjang minggu tersebut cuaca di Jakarta cenderung hujan tiap hari. Dari info yang mas Rizki dapat, Sukabumi pun satu ide dengan Jakarta. Daripada kecewa sampai tujuan maka kami memutuskan untuk cancle dulu ke Ujung Genteng. Kecewa? Tidak!. Lupi yang masih sangat baik hati tiba-tiba menginfokan saya bahwa dia akan bepetualang ke Suku Baduy, suku yang dulu pernah membuat saya penasaran bahkan sampai saat ini. Suku Baduy adalah suku yang tinggal di propinsi Banten tepatnya Kabupaten Lebak. Saat setelah diinfokan, keesokan harinya saya tanpa piker panjang lagi “Oke Lup! Aku sama temanku Sadam ikutan”. 

Lupi membalasnya dengan, “Daftar sendiri ya, soalnya kita udah trauma dengan kamu”.

Dengan senyuman saya balas WhatsApp-nya,”*emot sigh*”.

Setelah itu saya infokan Sadam dan syukurlah Sadam juga setuju. Lantas saya langsung mendaftarkan diri dan Sadam ke Wuki Traveller, tour agent kami. Review ya, tour agent ini benar-benar yang paling asik, nyaman dan gokil dari semua tour leader yang saya pakai dan murah. Namanya mbak Wuri, yang pada awalnya saya kira cowok, yaitu sebagai tour leader kami. Kami diinfokan untuk membawa beberapa logistik untuk teman tracking kami, mengingat medannya yang sangat panjang. Tapi saya dan Sadam terkesan berlebihan. Llogistik tersebut sempurna memenuhi ransel kami dan itu faktor yang membuat pundak kami sixpack.  Tak lupa mbak Wuri memberi tahu untuk membawa beberapa oleh-oleh untuk orang-orang Baduy. Oleh-oleh bisa berupa apa saja yang penting bisa dimanfaatkan mereka contohnya gula pasir, kecap bahkan ikan asin itu favorit orang Baduy, lho. Dua hari berikutnya tepatnya hari Sabtu, hari yang ditunggu datang. Baduy, we’ll rock you!.

Wuki Traveller memberi tahu bahwa meeting point kami di Setasiun Duri maksimal jam 07:00 WIB. Saya dan Sadam pun telah sampai di St Duri pukul 6:30 WIB menggunakan Commuter Line dari St Sudirman. Perjumpaan kami dengan teman-teman trip disambut dengan jabatan tangan hangat, senyum banyak, perkenalan dan foto!. Tepat pukul 07:15 WIB kami berangkat dengan kereta ekonomi arah Merak dan akan turun di Rengas Dengklok namun, dengan rela kami meninggalkan 2 kelompok teman kita yang bukan terlambat tapi terlambat sekali. Salah satu kelompok tersebut adalah kelompok Lupi, mbak Risa dan mbak Riska dan satu lagi adalah kelompok mbak Sita, maksut saya kelompoknya ya dia sendiri, mbak Sita. Ahirnya mereka memutuskan untuk tetap ikut trip ini namun dengan menggunakan kereta yang satu level lebih nyaman dari kereta kami. Perjalanan mereka dimulai dari St Tanah Abang dengan cerita mereka yang cenderung seru atau malah kasihan ya, mengejar kereta. Jadi, kereta itu tidak akan menunggu kita melainkan kita yang harus mengejar agar mendapatkannya, sama seperti jodoh dan cita-cita. Oke, out of topic and the adventure was begin!.

Perjalanan kami dengan kereta yah, Indonesia banget. Kereta tersebut masih menganut sistem perniagaan didalam kereta, ada yang jualan tahu, kacang, kipas dan Mijon. Iya, Mijon. Saya sedikit heran dengan kereta ini. Ber-AC namun AC tersebut biasanya saya lihat dikamar atau dikantor. Ini AC rumahan dan maaf saya katrok. Syukurlah saya masih mendapat tempat duduk dan mengobrol banyak tentang vacation dengan salah satu teman trip saya yang tingginya setiang listrik, mas Agus. Saya sudah membayangkan kemana-mana bawa perjalanan ini akan seiring dengan What a Wonderfull World-nya Louis Amstrong.

I see skies of blue and clouds of white,
The bright blessed day,
The dark sacred night,
And I think to myself,
What a wonderfull world,
The colors of the rainbow so pretty in the sky,
Are also on the faces of people going by…

Sekitar 09:30 WIB kami semua telah berkumpul di St Rangkas Bitung, Lebak, Banten, bersamaan dengan datangnya kelompok kloter kedua (red. Lupi team dan mbak Sita team). Lengkaplah sudah 36 orang anggota trip kami. Setelah mengisi perut masing-masing mbak Wuri dengan gagahnya memandu kami menuju tempat kendaraan kedua kami yaitu orang menyebutnya elf dibaca Elep. Perjalanan menuju Kecamatan Ciboleger dimana merupakan pintu masuk ke suku Baduy ditempuh kurang lebih 1,5-2 jam.

Sesampainya di Ciboleger dan turun dari Elep dengan gagahnya saya dirundung dengan beberapa perasaan. Sejauh pandangan yang terlihat adalah beberapa pemuda dan anak-anak yang berpakaian serba putih atau hitam dengan ikat kepala lebar. Mereka menyandang kain lebar yang berisi entah apa itu terlihat seperti hasil pertanian. Kaki mereka tak beralas apapun dan terlihat lebih lebar dari manusia yang sering saya lihat. Rupanya mereka memang sering ke Ciboleger untuk membeli keperluan sehari-hari atau juga menyambut kedatangan turis untuk diantar ke kampung mereka. Mereka juga menyediakan jasa potter untuk membawa barang-barang turis. Terlihat sekeliling juga berdiri rumah-rumah modern serta berdiri minimarket modern. Saya seperti berdiri pada gesekan dua dimensi yang berbeda. Indah sekali, Tuhan terlalu cerdik melukis perbedaan. Saat itu saya juga tersadar bahwa ini bukan Baduy Dalam yaitu tujuan awal kami.



Ciboleger, Pintu masuk Suku Baduy

Sebelum memulai tracking tak lupa mb Wuri memimpin doa agar perjalanan kami tetap dilindungi Tuhan. Pada awalnya kami bertiga puluh enam kompak berangkat beriringan melewati pintu masuk selamat datang di Baduy Luar. Setelah melewati pintu masuk sudah terlihat aktifitas penduduk Baduy Luar seperti bertenun dan menjual aksesoris khas mereka. Saat itu juga terlihat penduduk Baduy sedang memasak berbagai makanan dengan ukuran banyak. Ada juga beberapa pemuda Baduy Luar yang membakar ikan berukuran telapak kaki orang dewasa. Saya penasaran apakah ikan itu berasal dari tangkapan di sungai yang menghelai cantik sepanjang perjalanan kami. rumah mereka cenderung rapi dan baru diperhatikan pasti letaknya didekat sungai. 

Perjalanan ini diwarnai dengan bertemunya kampung kemudian hutan lalu kampung lagi dan seterusnya. Waktu kami baru menempuh 25% perjalanan, kami sudah terpecah belah karena ada yang butuh istirahat yang lebih, ada yang penting selfie dulu, ada, semuanya ada. Sedangkan saya dan Sadam sejalan beserta anggota yang lain namun ditengah jalan saya merasa sangat kelelahan, ralat, kelaparan dan kehausan. Sebuah kesalahan kami karena kami hanya sarapan sepotong roti padahal jalurnya sangat panjang dan lumayan menguras keringat sekujur tubuh. Kemudian saya dan Sadam memutuskan istirahat sejenak dengan minum beberapa tegukan. Dimulai dari situ kami ditinggal anggota yang lain dan mulai tersesat dan tak tau arah jalan pulang, aku tanpamu butiran sagu. Untungnya kami punya inisiatif yang tinggi dengan menanyakan arah Baduy Dalam kepada gadis kecil Baduy Luar dengan bahasa Indonesia disertai Bahasa tubuh. Akhirnya sedikit gadis itu mengerti dan kami pun mengerti. Masalah terpecahkan setelah kami bertemu Rizal, anggota kami mahasiswa asli Solo, mas Agus, Zahra, Wanita gesit dan super, doi-nya mas Agus *I don’t know*, mbak Rien, ibu muda seorang travel writer yang tulisannya keren abis, Kang Jali, potter dan penunjuk arah kami asli Baduy Dalam, mbak Siti, mbak Kat dan yang lainnya. Akhirnya jembatan batas Baduy Luar dengan Baduy Dalam mulai menyinari mata kami. Ini melegakan karena setengah perjalanan sudah kami tempuh.

 
Jembatan batas Baduy Luar dengan Baduy Dalam


Saya dengan Jarman (10) anak Baduy Dalam