Petualangan ini berawal dari kesumpekan kota yang sejalan
dengan tingkat kesetresan. Pada awalnya saya berencana untuk mengambil trip yang dapat dihabiskan hanya dalam 2
hari weekend. Pada waktu itu saya
sudah apply untuk 2 hari private trip ke Pulau Pahawang, Lampung
bersama Lupi Latifah atau sebut saja teman mantan calon anggota PKM sewaktu
kuliah dan teman backpacker saya sewaktu tinggal di ibu kota. Manusia hanya manusia
dan rencana hanya rencana. 2 hari
sebelum pemberangkatan saya memutuskan untuk tidak ikut ke Pahawang karena jiwa
buruh saya yang harus taat perintah atasan bahwa weekend tersebut saya disuruh piket. Sontak Lupi dan Team
menghadiahi saya dengan title PHP.
Saya hanya bisa mengucapkan “maaf teman, kalian bisa benci saya, tapi benci
juga bos saya”. Oke, bercanda.
Setelah ditinggal Lupi dan Team saya juga tidak mau kalah
dan berniat pamer kepada mereka. Saya berniat mengajak teman innocent saya Muhdam Azhar untuk backpacker dan wisata extreme culinary ke kota Garut.
Sebenarnya, saya punya misi untuk nyobain susu domba Garut langsung dari
dombanya, tapi Sadam nama kerennya Muhdam tidak tahu menahu. Mungkin, kalau dia
tau bakal langsung menolak. Setelah urun
rembug dengan Sadam, ternyata mas Rizki, teman kerja saya berhasil
mempengaruhi saya untuk menengok keelokan jalur pantai Ujung Genteng, Sukabumi beserta kegigihan
penyu saat bertelur. Dari info yang saya dapat, biasanya penyu hijau akan
bertelur di sekitaran pantai Ujung genteng diwaktu malam hari. Weekend minggu ketiga bulan Juni pun
kami pilih untuk berangkat kesana.
Sekali lagi, manusia hanya Tuhan bagi dirinya sendiri,
sedangkan waktu dan cuaca bukan urusan kita. Sepanjang minggu tersebut cuaca di
Jakarta cenderung hujan tiap hari. Dari info yang mas Rizki dapat, Sukabumi pun
satu ide dengan Jakarta. Daripada kecewa sampai tujuan maka kami memutuskan
untuk cancle dulu ke Ujung Genteng. Kecewa?
Tidak!. Lupi yang masih sangat baik hati tiba-tiba menginfokan saya bahwa dia akan
bepetualang ke Suku Baduy, suku yang dulu pernah membuat saya penasaran bahkan sampai saat ini. Suku Baduy adalah
suku yang tinggal di propinsi Banten tepatnya Kabupaten Lebak. Saat setelah diinfokan,
keesokan harinya saya tanpa piker panjang lagi “Oke Lup! Aku sama temanku Sadam
ikutan”.
Lupi membalasnya dengan, “Daftar sendiri ya, soalnya kita
udah trauma dengan kamu”.
Dengan senyuman saya balas WhatsApp-nya,”*emot sigh*”.
Setelah itu saya infokan Sadam dan syukurlah Sadam juga
setuju. Lantas saya langsung mendaftarkan diri dan Sadam ke Wuki Traveller, tour agent kami. Review ya, tour agent ini benar-benar yang paling
asik, nyaman dan gokil dari semua tour leader yang saya pakai dan murah. Namanya
mbak Wuri, yang pada awalnya saya kira cowok, yaitu sebagai tour leader kami. Kami diinfokan untuk
membawa beberapa logistik untuk teman tracking
kami, mengingat medannya yang sangat panjang. Tapi saya dan Sadam terkesan berlebihan.
Llogistik tersebut sempurna memenuhi ransel kami dan itu faktor yang membuat
pundak kami sixpack. Tak lupa mbak Wuri memberi tahu untuk membawa
beberapa oleh-oleh untuk orang-orang Baduy. Oleh-oleh bisa berupa apa saja yang
penting bisa dimanfaatkan mereka contohnya gula pasir, kecap bahkan ikan asin
itu favorit orang Baduy, lho. Dua hari berikutnya tepatnya hari Sabtu, hari
yang ditunggu datang. Baduy, we’ll rock
you!.
Wuki Traveller memberi tahu bahwa meeting point kami di Setasiun Duri maksimal jam 07:00 WIB. Saya
dan Sadam pun telah sampai di St Duri pukul 6:30 WIB menggunakan Commuter Line dari St Sudirman. Perjumpaan
kami dengan teman-teman trip disambut
dengan jabatan tangan hangat, senyum banyak, perkenalan dan foto!. Tepat pukul
07:15 WIB kami berangkat dengan kereta ekonomi arah Merak dan akan turun di
Rengas Dengklok namun, dengan rela kami meninggalkan 2 kelompok teman kita yang
bukan terlambat tapi terlambat sekali. Salah satu kelompok tersebut adalah
kelompok Lupi, mbak Risa dan mbak Riska dan satu lagi adalah kelompok mbak
Sita, maksut saya kelompoknya ya dia sendiri, mbak Sita. Ahirnya mereka
memutuskan untuk tetap ikut trip ini
namun dengan menggunakan kereta yang satu level lebih nyaman dari kereta kami. Perjalanan
mereka dimulai dari St Tanah Abang dengan cerita mereka yang cenderung seru
atau malah kasihan ya, mengejar kereta. Jadi, kereta itu tidak akan menunggu
kita melainkan kita yang harus mengejar agar mendapatkannya, sama seperti jodoh
dan cita-cita. Oke, out of topic and the
adventure was begin!.
Perjalanan kami dengan kereta yah, Indonesia banget. Kereta
tersebut masih menganut sistem perniagaan didalam kereta, ada yang jualan tahu,
kacang, kipas dan Mijon. Iya, Mijon. Saya sedikit heran dengan kereta
ini. Ber-AC namun AC tersebut biasanya saya lihat dikamar atau dikantor. Ini AC
rumahan dan maaf saya katrok. Syukurlah
saya masih mendapat tempat duduk dan mengobrol banyak tentang vacation dengan salah satu teman trip saya yang tingginya setiang listrik,
mas Agus. Saya sudah membayangkan kemana-mana bawa perjalanan ini akan seiring
dengan What a Wonderfull World-nya Louis
Amstrong.
I see skies of blue and clouds of white,The bright blessed day,The dark sacred night,And I think to myself,What a wonderfull world,The colors of the rainbow so pretty in the sky,Are also on the faces of people going by…
Sekitar 09:30 WIB kami semua telah berkumpul di St Rangkas Bitung, Lebak, Banten, bersamaan dengan datangnya kelompok kloter kedua (red.
Lupi team dan mbak Sita team). Lengkaplah sudah 36 orang anggota trip kami. Setelah
mengisi perut masing-masing mbak Wuri dengan gagahnya memandu kami menuju
tempat kendaraan kedua kami yaitu orang menyebutnya elf dibaca Elep. Perjalanan menuju Kecamatan Ciboleger dimana
merupakan pintu masuk ke suku Baduy ditempuh kurang lebih 1,5-2 jam.
Sesampainya
di Ciboleger dan turun dari Elep dengan gagahnya saya dirundung dengan beberapa
perasaan. Sejauh pandangan yang terlihat adalah beberapa pemuda dan anak-anak
yang berpakaian serba putih atau hitam dengan ikat kepala lebar. Mereka
menyandang kain lebar yang berisi entah apa itu terlihat seperti hasil
pertanian. Kaki mereka tak beralas apapun dan terlihat lebih lebar dari manusia
yang sering saya lihat. Rupanya mereka memang sering ke Ciboleger untuk membeli
keperluan sehari-hari atau juga menyambut kedatangan turis untuk diantar ke kampung
mereka. Mereka juga menyediakan jasa potter
untuk membawa barang-barang turis. Terlihat sekeliling juga berdiri
rumah-rumah modern serta berdiri minimarket modern. Saya seperti berdiri pada
gesekan dua dimensi yang berbeda. Indah sekali, Tuhan terlalu cerdik melukis
perbedaan. Saat itu saya juga tersadar bahwa ini bukan Baduy Dalam yaitu tujuan
awal kami.
Ciboleger, Pintu masuk Suku Baduy |
Sebelum memulai tracking
tak lupa mb Wuri memimpin doa agar perjalanan kami tetap dilindungi Tuhan. Pada
awalnya kami bertiga puluh enam kompak berangkat beriringan melewati pintu
masuk selamat datang di Baduy Luar. Setelah melewati pintu masuk sudah terlihat
aktifitas penduduk Baduy Luar seperti bertenun dan menjual aksesoris khas
mereka. Saat itu juga terlihat penduduk Baduy sedang memasak berbagai makanan
dengan ukuran banyak. Ada juga beberapa pemuda Baduy Luar yang membakar ikan
berukuran telapak kaki orang dewasa. Saya penasaran apakah ikan itu berasal
dari tangkapan di sungai yang menghelai cantik sepanjang perjalanan kami. rumah
mereka cenderung rapi dan baru diperhatikan pasti letaknya didekat sungai.
Perjalanan
ini diwarnai dengan bertemunya kampung kemudian hutan lalu kampung lagi dan
seterusnya. Waktu kami baru menempuh 25% perjalanan, kami sudah terpecah belah
karena ada yang butuh istirahat yang lebih, ada yang penting selfie dulu, ada, semuanya ada. Sedangkan
saya dan Sadam sejalan beserta anggota yang lain namun ditengah jalan saya
merasa sangat kelelahan, ralat, kelaparan dan kehausan. Sebuah kesalahan kami
karena kami hanya sarapan sepotong roti padahal jalurnya sangat panjang dan
lumayan menguras keringat sekujur tubuh. Kemudian saya dan Sadam memutuskan
istirahat sejenak dengan minum beberapa tegukan. Dimulai dari situ kami
ditinggal anggota yang lain dan mulai tersesat dan tak tau arah jalan pulang,
aku tanpamu butiran sagu. Untungnya kami punya inisiatif yang tinggi dengan
menanyakan arah Baduy Dalam kepada gadis kecil Baduy Luar dengan bahasa Indonesia
disertai Bahasa tubuh. Akhirnya sedikit gadis itu mengerti dan kami pun
mengerti. Masalah terpecahkan setelah kami bertemu Rizal, anggota kami
mahasiswa asli Solo, mas Agus, Zahra, Wanita gesit dan super, doi-nya mas Agus *I don’t know*, mbak Rien, ibu muda
seorang travel writer yang tulisannya
keren abis, Kang Jali, potter dan
penunjuk arah kami asli Baduy Dalam, mbak Siti, mbak Kat dan yang lainnya. Akhirnya
jembatan batas Baduy Luar dengan Baduy Dalam mulai menyinari mata kami. Ini melegakan
karena setengah perjalanan sudah kami tempuh.
Jembatan batas Baduy Luar dengan Baduy Dalam |
Saya dengan Jarman (10) anak Baduy Dalam |